Karnavalistik dalam Dunia Budi Darma

I. Afiannisa
13 min readJun 23, 2024

--

Budi Darma, selain dikenal perihal ke absurditasannya, ia juga dikenal dengan konsep kepengarangannya yang penuh obsesi, sering kali sulit dimaknai.

Seperti pengisahan Olenka (1983). Cara Budi Darma menciptakan dunia di sini ternyata hampir serupa dengan yang tercermin di karya-karyanya yang lain. Bisa dibilang; absurditas khas Budi Darma sekali lagi tergambarkan. Yaitu, dari percobaannya menggabungkan fantasi, mitos, spiritualisme, dengan realitas. Atmosfer urbanitas, tokoh misterius, hal-hal yang jauh dari kenyataan (di luar akal sehat), kemustahilan, dan dari bagaimana ia kerap mengulang-ulang narasi untuk menciptakan suasana ngeri, semua itu lagi-lagi terbangkitkan.

Bisa dibilang; absurditas khas Budi Darma sekali lagi tergambarkan. Yaitu, dari percobaannya menggabungkan fantasi, mitos, spiritualisme, dengan realitas. Atmosfer urbanitas, tokoh misterius, hal-hal yang jauh dari kenyataan (di luar akal sehat), kemustahilan, dan dari bagaimana ia kerap mengulang-ulang narasi untuk menciptakan suasana ngeri, semua itu lagi-lagi terbangkitkan.

Ada juga, Orang-orang Bloomington dan Ny Talis yang mengungkap persoalan eksistensi manusia. Atau, Rafilus yang mengangkat realitas masyarakat, yang dibungkus dan ditekankan dari aspek psikologisnya. Segala karyanya tidak jauh-jauh dari kata; absurd.

Berkuliah di jurusan Sastra, membawa saya dapat mengenal sosok Budi Darma lebih jauh. Lebih tepatnya, selepas, dan berkat membaca sekumpulan tulisan milik kritikus tersohor, Tirto Suwondo.

Seingat saya, kali pertama membaca karya sastra beliau itu adalah cerpennya yang berjudul Laki-Laki Pemanggul Goni, yang ditulis dan terbit di tahun 2012.

Sebagian orang mungkin mengira bahwasa cerpen ini merupakan cerita mistis. Karena karakter astral di dalamnya yang berhasil menjadi sorotan sekaligus paling sulit diraba, membuat kita kerap kali merinding dan bertanya-tanya: siapa gerangan ia? Namun menurut saya, cerpen ini lebih cenderung ke surealistik dibanding mistik.

Simbol-simbol mitos dalam cerpen Laki-laki Pemanggul Goni jika dihubungkan dengan kehidupan Budi Darma, mungkin erat kaitannya terhadap kehidupan masa kecilnya. Tentunya, bukan hanya kehidupan Budi Darma semasa kecilnya saja yang dipenuhi banyak cerita mitos, namun juga sebagian besar masyarakat di Indonesia tidak asing lagi dengan cerita-cerita mitos. Tapi apakah yang mendasari Budi Darma memakai seorang sosok laki-laki pemanggul goni sebagai simbol mitos di cerita ini?

Budi Darma lahir pada tahun 1937, tentu ia telah merasakan rasanya hidup dalam dua kali penjajahan, penjajahan Jepang dan Belanda. Ayahnya adalah seorang pegawai kantor pos yang disebut-sebut telah banyak mempengaruhi karya sastranya. Ibunya, ia, dan ketiga saudara laki-lakinya kerap mengikuti ayahnya yang beberapa kali pindah dari kota ke kota lain di pulau Jawa, seperti, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Kendal, Kudus, Salatiga, Jombang, dan lain-lain. Hal itu tentu membuat Budi Darma tidak asing lagi dengan kebudayaan Jawa bahkan hingga saat sekarang ini―yang mana memiliki banyak sekali cerita mitos.

Cerita-cerita mitos yang masih tertanam di kehidupan pengarang mungkin mejadi alasan mengapa cerita ini diangkat menjadi permasalahan utama. Hal ini juga didukung dari jarak waktu kehidupan masa kecil Budi Darma yang terjadi sekitar 70 tahun lalu, yang mana saat itu mitos lebih dipercayai mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, mungkin saja Budi Darma mencoba mengekspresikan masa lalunya dengan sentuhan imajinasi dan keabsurditasan dalam dunia yang ia ciptakan dalam cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni ini.

Semasa muda, Budi Darma terkenal dengan semangatnya yang menggebu-gebu. Ia tinggal bersama Prof. Nugroho Notosusanto sewaktu kuliah di Universitas Gadjah Mada, beliau merupakan salah satu dosen waktu itu. Budi Darma banyak membaca buku-buku, dan aktif di berbagai organisasi sehingga ia dikenal sebagai sosok yang intelektual. Tirto Suwondo berpendapat bahwa dari tingkat pendidikan, penghasilan, pengalam di luar dan di dalam negeri, dan sekian banyak aktifitas sosial dan intelektual lainnya, ia agak dapat digolongkan sebagai orang yang berkelas sosial menengah atas, atau ‘metropolitas superculture’ (Suwondo, 2001:268). Intelektualitas yang ia miliki mungkin adalah hal yang mendasari Budi Darma dalam mengarang ceritanya, salah satunya dalam Laki-Laki Pemanggul Goni ini. Tidak heran, konsep kepengarangan Budi Darma sebagian besar memang banyak mengangkat permasalahan aspek-aspek sosial budaya yang mana ia banyak menonjolkan ‘manusia’ dalam tokoh yang ia ciptakan.

Pendekatan ekspresif memang memandang karya sastra sebagai ekspresi dari pengarang, sebagai curahan perasaan dan pemikiran pengarang. Namun sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa cerpen ini merupakan tradisi dari sastra karnival. Dalam hal ini berarti pengarang dengan bebas menciptakan dunianya sendiri, teknik penamaan, tokoh-tokohnya, latar, dan sebagainya dalam cerita yang ia karang, tanpa harus terlalu menghubungkannya pada alasan-alasan yang terikat dengan pengarang. Hal yang perlu dilihat dalam karya karnival adalah bagaimana pengarang menciptakan simbol-simbol ke dalam ceritanya sebagai sebuah ‘pertunjukan indah’. Sebagaimana Budi Darma dalam dalam sebuah wawancara di jurnal Prosa (2003) pernah mengatakan bahwa, “Andaikata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik. Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi”.

Di dalam salah satu tulisannya, Budi Darma pernah berpendapat bahwa sebenarnya pandangan mengenai sastra untuk memperbaiki keadaan sosial adalah sia-sia belaka. Ketika bertindak sebagai manusia biasa, ia tetap komit terhadap masalah sosial, tetapi ketika bertindak sebagai pengarang, ia bekerja dengan bawah sasdarnya dan melupakan masalah sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu pada waktu mengarang, ia mencoba memasuki jiwa manusia sebagai makhluk sosial (Suwondo, 2001:271, 272).

Menarik kesimpulan tentang sejauh mana cerita ini dikarnivalisasi oleh Budi Darma, adalah bahwa cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni merupakan salah satu obsesinya terhadap permasalahan sosial melaui simbol-simbol yang ia ciptakan―yang mana ia curahkan sebagai seorang pengarang.

Orientasi Pragmatik Cerpen

Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994). Pendekatan pragmatik memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penyambut karya sastra. Dengan demikian, karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil atau unggul apabila bermanfaat bagi masyarakat atau publiknya, seperti menyenangkan, menghibur, atau mendidik (Yudiono, 2009:42)

Cerpen Laki-laki Pemanggul Goni mengangkat problematika dalam potret masyarakat Indonesia. Nilai-nilai sodial dan kebudayaan dalam novel ini sangatlah tersirat dan penuh tafsir. Potret ini adalah sebuah serpihan-serpihan yang tercecer dari masalah di bangsa ini yang cukup kompleks. Cerpen ini mengangkat tradisi kultural pada tingkat keabsurditasan Budi Darma dalam tokoh-tokohnya yaitu Karmain dan laki-laki pemanggul goni. Cerita ini mencoba membawa pengarang pada sebuah cerita yang penuh makna dan menyiratkan sebuah sindirian akan mitos yang masih dipercaya di tengah-tengah masyarakat kita. Cerpen ini ini memperlihatkan unsur-unsur kebudayaan yang lekat dengan penyatuan unsur kultur sosial dan tradisi kultural.

Cerita yang ditawarkan cukup menarik, seperti ada ‘sesuatu’ yang menarik perhatian pembaca. Namun cerpen ini mengandung tingkat penafsiran yang cukup tinggi. Walaupun Budi Darma telah menjelaskan tokoh sejelas mungkin untuk dicitrakan oleh pembaca, kedua tokoh dalam cerita pendek ini dirahasiakan identitasnya sampai di akhir cerita, seperti hubungan di antara keduanya dan alasan-alasan tertentu yang menghubungnya diantara keduanya.

Budi Darma pada awal-awal cerita, berulang kali menempatkan latar cerita pada kamar apartemen, jalanan, dan perkotaan serta aktifitas sembahyang berulang-ulang kali. Mata laki-laki yang selalu melotot―yang belum diketahui identitasnya, dan tokoh Karmain yang merasa risih namun tidak terlalu takut.

Pada akhir cerita, dengan usaha tokoh karmain mengingat sedikit pergolokan emosi, fikiran, dan memori dari masa lalunya pun akhirnya menjelaskan identitas mereka, hubungan mereka, dan kejadian sorot balik pada kampung halamannya serta kejadian di dalamnya. Cerita ini pun sebenarnya masih mengandung teka-teki dan hal-hal tersirat yang masih belum terungkap, namun hal itulah yang membuat cerita ini menarik dan dikatakan absurd. Namun, jika dibaca berulang-ulang kali, maka dapat ditafsirkan bahwa tokoh dalam cerpen ini melambangkan Laki-Laki Pemanggul Goni sebagai simbol mitos dan Karmain sebagai simbol zaman.

Cerpen ini menggunakan bahasa dan diksi, gaya bahasa yang sederhana, penggunaan citra imaji yang menarik, serta pengulangan-pengulangan yang menarik perhatian pembacanya membaca alinea demi alinea dan menimbulkan penasaran yang amat besar.

Orientasi Mimetik, Semesta dalam Cerpen

Menurut Yudiono (2009:42), pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Menarik kesimpulan bahwa pendekatan mimetik dalam karya sastra berhubungan dengan suatu tiruan alam yang ditirunya, yaitu antara imaji dan kenyataan.

Ditulis pada tahun 2012, Budi Darma mengangkat mitos dalam cerpennya ini yang diberi judul Laki-laki Pemanggul Goni. Mitos adalah Fenomena itu tentu bukan sesuatu yang asing lagi di Indonesia, ia hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia dari masa ke masa bahkan telah membudaya. Pada era globalisasi sekalipun, yang mana sebagian pemikiran cenderung lebih modern, namun tetap saja hal itu masih menjadi kebiasaan di kehidupan masyarakat Indonesia―atau mungkin sebagian kecil.

Cerita ini berlatar belakang kota, desa Burikan dan Barongan. Kedua desa tersebut merupakan desa yang terletak di Kudus, Jawa Tengah. Namun pada catatan kaki Maman S Mahanaya dalam Potret Indonesia dalam Cerpen mengenai cerita ini, ia mengatakan bahwa Budi Darma hanya suka-sukanya saja memberi nama dan ia tidak menemukan kaitan latar tempat dengan mitos Pemanggul goni tersebut. Namun, sebenarnya Budi Darma mencoba menggambarkan adanya dua zaman yang berbeda yaitu modernitas dan masa lalu.

Namun, kumpulan cerpen-cerpen kompas ini, sekali lagi, merupakan intepretasi dari protet tentang keindonesiaan, yaitu tentang sebuah keragaman budaya yang unik dengan segala problematikanya dalam masyarakat. Salah satunya cerpen Laki-laki Pemanggul Goni yang kaya akan makna , merupakan potret dari sosial budaya di Indonesia akan kepercayaan terhadap mitos dan masa lalu pengarangnya.

”Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.” Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.

Berdasarkan kutipan di atas, tokoh laki-Laki Pemanggu Goni merupakan simbol dari mitos dalam cerita. Jika dikaitkan dalam pendekatan mimetik, Budi Darma mengangkat problematika lokal yang terjadi di masyarakat kita sebagai dunia luar dan mengemas cerita mitos ini sedemikian rupa sehingga penuh tafsir. Maman S Mahanaya lagi-lagi mengatakan bahwa secara sosiologis, cerpen ini pun pada dasarnya dapat ditempatkan sebagai potret masa kecil sebagian anak-anak Indonesia yang hampir selalu dijejali mitos dan tokoh-tokoh fiktif yang kerap dicitrakan sebagai makhluk menakutkan. Selagi masih adanya pengaruh tradisi animisme, Hinduisme, Islam, bahkan kekuatan supranatural, Budi Darma mencoba mengangkat kembali problematika sosial budaya masyarakat tersebut yang sebenarnya masih dipercaya oleh lapis sosial masyarakat tertentu, dan akan menjadi perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Bentuk dan Isi

  1. Bentuk

Cerpen yang mengangkat fenomena dari ‘potret’ masyarakat Indonesia ini memiliki unsur-unsur mitos di dalamnya. Tidak heran, cerita ini mengandung tema spritualisme karena mitos selalu menjadi permasalahan yang bertentangan dengan kepercayaan dalam agama.

Cerita ini dibangun oleh dua tokoh saja, yaitu Karmain dan laki-laki pemanggul goni. Sebagaimana Karmain, tokoh utama dalam cerita ini dikisahkan sangat religius dan taat beribadah. Karmain berasal dari kampung Burikan yang mana kehidupan di sana juga agamis. Ia tinggal bersama ibunya dan ayahnya telah meninggal ketika berburu di hutan. Kini ia hidup di sebuah apartemen yang jauh dengan suasana saat ia masih kecil dulu. Hidup di perkotaan dengan kesibukan, suara bising, dan kerlap-kerlip lampu pada gedung-gedung tinggi, membuat ia lupa pada kejadian-kejadian di masa kecilnya.

Sedangkan laki-laki si pemanggul goni adalah tokoh ‘ghaib’, yang digambarkan misterius dan selalu menghantui kehidupan Karmain. Laki-laki ini dapat dikatakan adalah wujud dari ketakutan Karmain yang ia pendam selama ini. Dalam kisahnya, sebagaimana ia juga menjadi judul dari cerpen ini, dimaknai bahwa Laki-laki Pemanggul Goni merupakan interpretasi dari mitos yang diceritakan seorang ibu kepada Karmain. Mitos itu mengatakan bahwa ia adalah malaikat pencabut nyawa yang datang ketika seseorang akan mati. Ia datang untuk mengingat masa lalu Karmain akibat kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.

Cerita ini mengambil latar perkotaan urban, apartemen khas melambangkan modernitas, dan beberapa kali di kampung Burikan atau Barongan―kampung halaman Karmain, yang mana tempat-tempat tersebut akan mengkaitkan pertemuan antar tokoh. Selain itu pada awal cerita, atmosfer yang terbentuk adalah rasa penasaran akan identitas si Pemanggul Goni yang seperti memburu dan mengganggu pikiran Karmain. Latar Suasana semakin lama semakin mencengkam dan semakin tidak lazim, sebagaimana identitas tokoh yang belum juga terungkap.

Hal tersebut menjadi awal konflik dari cerita ini, dan yang menjadi klimaks dari cerita ini ketika laki-laki pemanggul goni mencoba mengkorek-korek ingatan masa lalu serta ketakutan terbesar Karmain. Akhirnya, dengan sebuah pernyataan Karmain akan kisah nabi Khidir dan penyebab kejadian kebakaran di kampung Burikan, yang mana hal tersebut pada akhirnya dapat membuka identitas kedua tokohnya. Sebagaimana, laki-laki pemanggul goni merupakan sosok mitos/ghaib, sering menakuti pikiran Karmain akan kesalahannya di masa lalu yang terungkap dalam penyelesaian cerita.

Sebagaimana karya-karya Budi Darma sebelumnya yang mengandung unsur-unsur karnival yang dominan, pada cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni juga memperlihatkan diri sebagai dunia dan karnivalistik. Kehidupan karnivalistik adalah suatu kehidupan yang tidak biasa, yang drawn out of its usual rut atau life turned inside out (Bakhtin dalam Suwondo: 2001:62).

Cerpen ini merupakan karyanya yang dapat dikatakan absurd karena dapat membalikkan dunia nyata menjadi sesuatu yang di luar kebiasaan. Pada cerpen ini tersimpan banyak hal-hal tersirat dan membutuhkan penafsiran yang sangat dalam. Sesuatu yang tersirat dan multi-tafsir tersebut terlihat pada hubungan antara awal dan bagaimana berakhirnya cerita ini yang sangat absurd.

Cerita Laki-Laki Pemanggul Goni diawali dengan sebuah peristiwa ketika Karmain yang sangat taat beribadah kerap akan sembahyang, namun hatinya selalu tergerak untuk mendekati jendela apartemennya dan mengintip ke bawah untuk memastikan keberadaan seorang laki-laki pemanggul goni. Seorang laki-laki bungkuk dengan karung goni yang tampaknya berat di punggungya itu selalu berdiri dan memandang Karmain tajam dari bawah apartemennya di lantai 9.

Pada waktu-waktu sembahyang seperti fajar, tengah hari, sore, senja, bahkan malam, dan laki-laki yang berdiri di tengah jalan, trotoir, atau semak-semak selalu menatap Karmain dengan penuh amarah seakan-akan ingin memburu Karmain. Latar suasana dan tempat masih bermain di latar yang sama dan berulang-ulang seperti, apartemen, gorden jendela yang ditiup angin, suasana sepi, tegang, suara-suara menyayat hati atau semacamnya. Sementara itu hubungan karmain dan laki-laki itu belum jelas dan sosok si Pemanggul Goni semakin misterius―ditambah ia selalu menghilang ketika Karmain mencoba mengejarnya.

Beberapa kali peristiwa itu kembali berulang-ulang diceritakan, seakan-akan menjadi trik pengarang untuk menarik perhatian pembacanya. Pada Alinea ke-6 hingga ke-8, peristiwa itu akhirnya berlanjut pada sebuah konflik ketika Karmain berguman sendiri.

Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama saya.”(Alinea ke-7)

”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari…..” (Aline ke-8)

Latar suasana pun berubah menjadi semakin mencekam, begitupun pengarang dapat membuat rasa semakin penasaran pada pembacanya dan atmosfernya seakan-akan nyata, Diceritakan bahwa angin begitu kencangnya, mederu-deru hingga menyingkap kain korden jendela, lampu-lampu apartemen di sekitarnya padam, lampu jalanan semakin meredup, dan wajah laki-laki itu semakin berkerut penuh kemarahan besar yang seakan-akan dapat mendengar segala perkataan Karmain tersebut.

Pada cerita terdapat sosok anjing hitam besar dan tinggi yang tiba-tiba muncul dan menghilang begitu saja, seakan-akan anjing itu ada hubungan dengan laki-laki pemanggul goni. Anjing itu bagaikan datang sebagai ingatan masa lalu Karmain ketika tinggal di kampung Burikan, bahwa dahulu seekor anjing telah mati akibat ulah kawan-kawannya, Ahmadi, Koiri dan Abdul Gani. Kehadiran Anjing tersebut itu pun semakin membawa Karmain jauh mengingat-ingat kembali masa lalunya. Ia mulai mengingat-ingat dan merindukan ibu dan ayahnya, hingga ia teringat kembali akan cerita ibunya tentang laki-laki yang memanggul goni di pundaknya, bahwa ”… pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.”

Laki-laki pemanggul goni mencoba mengingat-ingat kembali luka terdalam Karmain, dan membuat Karmain semakin merasa bersalah atas kebakaran di kampung Burikan pada masa lalunya. Kesalahan ia membunuh seekor Anjing, ia yang tidak pernah lagi mengunjungi makam orang tuanya, dan sebagainya. Namun, Karmain hanya menanggapinya dengan pertanyaan sederhana seakan-akan ia ingin membalikkan ketakutan itu pada si pemanggul goni. Ia seakan-akan kembali mempertanyakan identitas laki-laki tersebut bahwa apakah dia bukanlah malaikat pencabut nyawa, melainkan setan.

Puncak dari cerita adalah ketika laki-laki pemanggul goni ini sudah berdiri di ruang apartemen Karmain dan suasana berubah menjadi sangat menegangkan. Kedua tokoh tersebut masing-masing mulai membuka identitas mereka masing-masing melalui ingatan masa lalu, amarah laki-laki pemanggul goni pun meluap, sedangkan Karmain masih coba-coba mengingat-ingat sesuatu, hingga akhirnnya membawa mereka pada cerita di masa kecil karmain yang lupa menabuh beduk azan.

Cerita ini berakhir dengan sangat terbuka, mengandung tafsir-tafsir tertentu yang sangat absurd dan penuh fantasi yang luar biasa. Bahkan, si pemanggul goni pun masih diragukan identitasnya hingga akhir cerita yang mana tokoh dari cerita ini sangat misterius. Justru timbul banyak prasangka tentang akhir cerita ini, bahkan keseluruhan dari inti cerita ini. Unsur-unsur mitos sudah tampak jelas, dan berbagai aspek-aspek sosial kehidupan masyarakat. Namun, timbul berbagai pertanyaan apakah laki-laki pemanggul goni itu nyata atau hanya makhluk ghaib? Atau apakah ia hanya tokoh imajinasi yang tidak sadar dibentuk oleh Karmain sendiri akibat ingatan masa lalunya?

Laki-Laki Pemanggul Goni oleh Budi Darma ini mengandung fantasi yang cukup berani dalam ideologis dan filosofis isi cerita. Cerita dan simbol mitos yang diangkat dan aspek-aspek sosial, hingga moral psikologis sang tokoh utama Karmain dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti―walaupun memang jalan ceritanya cukup rumit ditafsirkan. Namun menarik kesimpulan isi dari cerita ini, dapat ditafsirkan bahwa laki-laki pemanggul goni adalah interpretasi sosok mitos yang diceritakan ibunya dan selalu menakuti-nakuti pikiran Karmain akan sebuah kematian. Karmain yang diceritakan sebagai pemuda yang taat beribadah, sepertinya sangat takut pada dosa-dosanya di masa lalu. Sosok itu seolah-olah ia datangkan sendiri dari fikirannya akibat rasa bersalah yang ia pendam selama ini.

Kutipan alinea terakhir cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni:

Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar.

KESIMPULAN

Seperti ada ‘sesuatu’ yang menarik pembaca pada pengulangan-pengulangan cara bercerita khas Budi Darma dalam cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni. Cerita pendek yang bernuansa sastra karnival ini mengandung tafsir-tafsir tertentu yang sangat absurd dan penuh fantasi yang luar biasa.

Dari pembahasan yang disajikan sebelumnya, Laki-Laki Pemanggul Goni oleh Budi Darma ini sangat berani dalam mengemukakan ideologis dan isi cerita yang filosofis. Salah satunya pada pembentukan tokoh, ia berani mengangkat ‘sosok’ mistik laki-laki misterius dalam kehidupan spiritual yang bertentangan dengan moral agama. Isi ceritapun, khususnya pada akhir cerita mengandung banyak hal-hal tersembunyi, yang mana mendorong para pembaca untuk mekmanai ‘identitas’ tokoh-tokoh lebih jauh.

Pada cerpen ini, Budi Darma memanfaatkan imaji-imaji dan citra tertentu yang berkebalikan dari realitas. Unsur mitos yang diangkat, serta aspek-aspek sosial-budaya, hingga moral psikologis sang tokoh utama Karmain, diwujudkan dalam satu sosok, yaitu laki-laki pemanggul goni. Dengan bahasa yang mudah dimengerti―walaupun memang jalan ceritanya cukup rumit dan berbelit-belit, namun dapat ditafsirkan bahwa laki-laki pemanggul goni adalah interpretasi sosok ‘mitos’ yang diceritakan ibunya. Sosok itu juga yang selalu menakuti-nakuti pikiran Karmain akan sebuah kematian dan dosa-dosa. Sosok itu seolah-olah ia datangkan sendiri dari fikirannya akibat rasa bersalah yang ia pendam selama ini.

Sebagaimana tradisi sastra karnivalistik menjelaskan diri sebagai sarana-sarana legenda yang berdasarkan kebebasan pengalaman dan imajinasi, dalam cerita ini, dapat diketahui bahwa mitos sebagai ‘legenda’ atau ‘sejarah’ ikut dikemas dengan cerita fantasi yang imajinatif, penuh ironi, tragedi, bahkan aspek-aspek sosial. Oleh karena itu cerpen ini juga dikategorikan cerita polifenik karena tidak berhubungan dengan bentuk dan isi yang sesuai dengan ‘realitas’-nya, yang mana membuat cerita ini seakan lepas dari konsep kenyataan.

Dunia fiksi dan realitas digabungkan dalam cerpen ini. Budi Darma mengangkat problematika lokal yang terjadi di masyarakat Indonesia sebagai sebuah ‘potret’ dan refleksi realitas masyarakat Indonesia. Budi Darma mengemas fenomena dari dunia luar ini menjadi cerita surealistik dalam dunianya yang cukup absurd, dengan berbagai kemeriahan karnival pikiran tokoh yang ia ciptakan. Budi Darma berhasil menciptakan sebuah ‘pertunjukan’ absurd lainnya dalam cerpen Laki-Laki Pemanggul Goni ini.

--

--

I. Afiannisa

I draw and write — but mostly; contemplate, ruminate, and procrastinate.